Menjawab Utang Indonesia dari Capres atau Cawapres
Belakangan ini pemberitaan diramaikan oleh Capres dan Cawapres Prabowo – Sandiaga terkait utang per kapita. Menurut Sandiaga Uno setiap anak Indonesia kini harus menanggung beban utang Rp 13 juta. Sementara menurut Prabowo setiap bayi yang baru lahir di Indonesia menanggung utang Rp 9 juta. Entah mengapa data pasangan capres dan cawapres tersebut bisa berbeda.
Utang dalam suatu negara bukanlah hal yang tabu. Sepanjang digunakan untuk hal yang bisa meningkatkan kapasitas, maka akan memberikan hasil yang produktif dan dapat menambah penghasilan.
Sebagian besar utang itu juga nantinya akan menjadi aset (fisik dan non fisik) yang akan diwariskan untuk generasi mendatang.
Hampir seluruh negara di dunia memiliki utang. Jumlahnya juga berbeda pada setiap negara, tergantung ukuran ekonominya. Bukan dilihat dari jumlah penduduknya.
Sebagai analogi, sebuah sebuah perusahaan yang memiliki pabrik, bila utang digunakan untuk membeli mesin di pabriknya atau membeli tanah dan bangunan untuk menambah pabrik baru, maka akan dapat meningkatkan kapasitas produksi yang akan menambah pendapatan pabrik tersebut.
Beban utang pada sebuah perusahaan tidak bisa dihitung dari berapa jumlah pegawainya, tapi dilihat dari pendapatan operasionalnya.
Untuk itu perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
1.Penghitungan utang perkapita tidak ada hubungannya dengan kemampuan membayar utang. Kemampuan membayar utang dilihat dari penghasilannya, dimana dalam suatu negara dinamakan Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan analogi yang sama, ketika kita meminjam uang di Bank, tidak akan ditanya berapa jumlah anak kita tapi berapa penghasilan yang diperoleh.
2.Penghitungan utang perkapita juga tidak ada hubungannya dengan utang per manusia Indonesia yang baru lahir. Bukan berarti bahwa tiap penduduk Indonesia harus membayar utang tersebut, karena utang tersebut tetap dibayarkan oleh Pemerintah dan tidak dikelola oleh masing-masing penduduk Indonesia. Berbeda halnya dengan PDB perkapita, dimana angka PDB merupakan kontribusi langsung dari semua penduduk di suatu negara yang menggambarkan besarnya (size) perekonomian.
3.Yang menjadi indikator penting dan digunakan secara luas oleh setiap negara dalam mengukur tingkat keamanan berutang dan pengambilan kebijakan adalah rasio utang per PDB. Rasio ini membandingkan jumlah utang yang dimiliki Pemerintah dengan size perekonomian suatu negara.
4.Rasio utang per PDB menunjukkan indikasi kemampuan membayar dari suatu negara atas utang yang dimilikinya. Rasio ini menjadi salah satu indikator yang harus dipatuhi Pemerintah dan diatur dalam Undang-undang no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
5.Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada akhir November 2018 utang Pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp4.396 triliun, sementara rasio utang per PDB tercatat sebesar 29,9% jauh di bawah 60% sebagaimana ketentuan Undang-undang no 17 tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa utang Indonesia aman dan mampu dibayar kembali.
6.Dibandingkan dengan beberapa negara lainnya, kondisi utang Indonesia jauh lebih baik. Pada tahun 2018 rasio utang perkapita Pemerintah Indonesia sebesar USD1.147 dengan rasio utang per PDB sebesar 30%, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand (USD2.928 perkapita, rasio utang 42% per PDB), Malaysia (USD5.898 perkapita, rasio utang 55% per PDB), bahkan Filipina (USD1.233 per kapita, rasio utang 40% per PDB).
7.Melihat perbandingan kondisi utang Indonesia dibanding negara-negara peers, dapat disimpulkan bahwa utang Pemerintah dalam keadaan aman dan dikelola dengan sangat hati-hati. Selain itu, Pemerintah masih sangat mampu untuk membayar utangnya tersebut dan telah disiapkan anggarannya dalam APBN setiap tahun.
8.Pembayaran utang tidak hanya berasal dari pajak, namun juga berasal dari hasil investasi Pemerintah, penerimaan negara bukan pajak, royalti dan lain-lain. Jadi tidak benar kalau disebutkan bahwa semakin besar utang Indonesia maka rakyat akan semakin terbebani dengan besarnya pajak yang harus dibayar
9.Pembayaran pajak dikelola pemerintah dengan mekanisme penerimaan negara melalui APBN lebih difokuskan pada Pembangunan Manusia Indonesia, bukan untuk pembayaran utang. Dengan demikain masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berusia produktif dapat berkontribusi pada pembangunan dan kesejahteraan Indonesia melalui pembayaran pajak.
Dalam membahas topik tentang utang, sebaiknya tidak melihat dari sisi besarannya, dan juga berapa yang seolah-olah harus ditanggung oleh rakyat.
Namun demikian, perlu dibahas bagaimana Pemerintah mengelola utang tersebut sehingga menjadi produktif dan menguntungkan rakyat.
Utang hanyalah bagian dari APBN secara keseluruhan. APBN bukan tujuan, APBN adalah alat/instrumen. Tujuan utama kita semua dalam penggunaan APBN adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial, mengurangi kemiskinan, sehingga dapat tercapai masyarakat yang adil dan makmur.
5 Januari 2019
Nufransa Wira Sakti
Kementerian Keuangan RI
- Perbedaan Asuransi Kecelakaan Pada Diri dan Asuransi Jiwa - November 24, 2020
- HID Global Akuisisi Access-IS - August 27, 2020
- Blog Review IDN App Berhadiah Jutaan Rupiah - July 28, 2020